"Tuhan" Filsafat

Ketuhanan dalam agama Yahudi dan Kristen, kata Newton sangat problematic. Karena itu, ia ditolak sains

Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi *


Pada suatu hari saya naik bis dari Aston ke Universitas Birmingham Inggris. Disamping saya seorang bule agak kusut. Ia melirik buku teologi yang sedang saya baca. Dan tiba-tiba: Hai mike! Ia menyapa dengan aksen khas Birmingham sambil senyum. Dia bertanya, "Bisakah Tuhan menciptakan sesuatu yang Ia tidak dapat mengangkatnya"?

Saya tahu konsekuensi jawabannya. Baik jawaban positif maupun negatif hasilnya sama Tuhan tidak berkuasa. Ini pasti pertanyaan seorang sekuler atau ateis, pikir saya. Ia bertanya dan tidak perlu jawaban.

Untuk tidak memberi jawaban panjang saya tanya dia dulu "Could you tell me what do you mean by God?" Benar saja sebelum menjawab pertanyaan saya dia sudah turun dari bus sambil meringis.

Pertanyaan apakah Tuhan bisa membuat lebih baik dari yang ada ini, pernah diajukan Peter Abelard. Dia sendiri juga bingung menjawab. Pertanyaan sang Bule itu mungkin kulakan dari situ. Tapi yang jelas bukan dari pikirannya sendiri. Apa makna Tuhan baginya kabur. Bertanya tanpa ilmu akhirnya menjadi seperti guyonan atau bahkan plesetan.

Di Barat, diskursus tentang Tuhan memang marak dan terkadang mirip guyonan. Presedennya karena teologi bukan bagian dari thawabit (permanen) tapi mutaghayyiat (berubah). Layaknya wacana furu' dalam fiqih. Ijtihad tentang Tuhan terbuka lebar untuk semua. Siapa saja boleh bertanya apa saja. Akibatnya, para teolog kuwalahan. Pertanyaan-pertanyaan rasional dan protes-protes teologis gagal dijawab. Teolog lalu digeser oleh doktrin Sola Scriptura. Kitab suci bisa difahami tanpa otoritas teolog, sosiolog, psikolog, sejarawan, filosof, saintis dan bahkan orang awam pun berhak bicara tentang Tuhan.

Hadith Nabi idha wussida al-amru ila ghayri ahliha fantaÐir al-sa'ah, (jika suatu perkara diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu [kehancuran] nya) terbukti. Katolik pun terpolarisasi menjadi Protestan. Protestan menjadi Liberal dan al-sa'ah itu barangkali lahirnya apa yang disebut dengan modern atheism.

Apa kata Michael Buckley dalam At The Origin of Modern Atheism meneguhkan sabda Nabi. Ateisme murni di awal era modern timbul karena otoritas teolog diambil alih oleh filosof dan saintis.

Pemikir-pemikir yang ia juluki "para pembela iman Kristiani baru yang rasionalistis" seperti Lessius, Mersenne, Descartes, Malebranche, Newton dan Clarke, itu justru melupakan realitas Yesus Kristus. Tapi Newton tidak mau disalahkan, Trinitas telah merusak agama murni Yesus, katanya.

Descartes hanya percaya Tuhan filsafat, bukan Tuhan teolog, Lalu siapa yang bermasalah? Bisa kedua-duanya. Ini membingungkan. Pernyataan eksplisit bahwa Yesus itu Tuhan memang absen dari Bible. Ia dipahami hanya dari implikasi, sebab bahasa Bible itu susah, kata Duane A. Priebe.

Konsep Tuhan akhirnya harus dicari dengan hermeneutik dan kritik terhadap teks Bible. Tapi malangnya kritik terhadap Bible (Biblical Criticism), bukan tanpa konsekuensi. Biblical Criticism, kata Buckley, justru melahirkan ateisme modern.

Alasannya lugas dan logis. Ketika orang ragu akan teks Bible ia juga ragu akan isinya, akan kebenaran hakekat Tuhan dan kemudian tentang kebenaran eksistensi Tuhan sendiri. Hasil akhirnya adalah ateisme. Bukan hanya Biblenya yang problematik, tapi perangkat teologisnya tidak siap. Inilah masalah teologi.

Tapi ateisme modern bukan mengkufuri Tuhan, tapi Tuhan para teolog tuhan agama-agama. Yang problematik, kata Voltaire bukan Tuhan tapi doktrin-doktrin tentang Tuhan. Tuhan Yahudi dan Kristen, kata Newton problematik karena itu ia ditolak sains. Bahkan bagi Hegel, Tuhan Yahudi itu tiran dan Tuhan Kristen itu barbar dan lalim. Tuhan, akhirnya harus dibunuh. Nietzche pada tahun 1882 mendeklarasikan bahwa Tuhan sudah mati. Tapi ia tidak sendiri. Bahkan bagi Feuerbach, Karl Marx, Charles Darwin, Sigmund Freud, jika Tuhan belum mati, tugas manusia rasional untuk membunuhNya. Tapi Voltaire (1694-1778) tidak setuju Tuhan dibunuh. Tuhan harus ada, seandainya Tuhan tidak ada, kita wajib menciptakannya. Hanya saja Tuhan tidak boleh bertentangan dengan standar akal. Suatu guyonan yang menggelitik.

Belakangan Sartre (1905-1980) seorang filosof eksistensialis mencoba menetralisir, Tuhan bukan tidak hidup lagi atau tidak ada, Tuhan ada tapi tidak bersama manusia. "Tuhan telah berbicara pada kita tapi kini Ia diam". Sartre lalu menuai kritik dari Martin Buber (1878-1965) seorang teolog Yahudi. Anggapan Sartre itu hanyalah kilah seorang eksistensialis. Tuhan tidak diam, kata Buber, tapi di zaman ini manusia memang jarang mendengar. Manusia terlalu banyak bicara dan sangat sedikit merasa. Filsafat hanya bermain dengan imej dan metafora sehingga gagal mengenal Tuhan, katanya.

Itulah akibat memahami Tuhan tanpa pengetahuan agama, tulisnya geram. Filosof berkomunikasi dengan Tuhan hanya dengan fikiran, tapi tanpa rasa keimanan. Martin lalu menggambarkan "nasib" Tuhan di Barat melalui bukunya berjudul Eclipse of God. Saat Blaise Pascal (1623-1662) ilmuwan muda brilian dari Perancis meninggal, dibalik jaketnya ditemukan tulisan "Tuhan Abraham, Tuhan Ishak, Tuhan Yakub, bukan Tuhan para filosof dan ilmuwan." Kesimpulan yang sangat cerdar. Inilah masalah bagi para filosof itu.

Begitulah, Barat akhirnya menjadi peradaban yang "maju" tanpa teks (kitab suci), tanpa otoritas teolog, dan last but not least tanpa Tuhan. Barat adalah peradaban yang meninggalkan Tuhan dari wacana keilmuan, wacana filsafat, wacana peradaban bahkan dari kehidupan publik.

Tuhan, kata Diderot, tidak bisa jadi pengalaman subyektif. Jikapun bisa bagi Kant (1724-1804) juga tidak menjadikan Tuhan "ada". Berfikir dan beriman pada tuhan hasilnya sama. Kant gagal menemukan Tuhan. Kant mengaku sering ke gereja, tapi tidak masuk. Ia seumur-umur hanya dua kali masuk gereja: waktu di baptis dan saat menikah. Maka dari itu Tuhan tidak bisa hadir dalam alam pikiran filsafatnya.

Muridnya, Herman Cohen pun berpikir sama. "Tuhan hanya sekedar ide", katanya. Tuhan hanya nampak dalam bentuk mitos yang tak pernah wujud. Tapi anehnya ia mengaku mencintai Tuhan. Lebih aneh lagi ia bilang "Kalau saya mencintai Tuhan", katanya, "maka saya tidak memikirkanNya lagi." Hatinya kekanan fikirannya kekiri. Pikirannya tidak membimbing hatinya, dan cintanya tidak melibatkan pikirannya.

Tuhan dalam perhelatan peradaban Barat memang problematik. Sejak awal era modern Francis Bacon (1561-1626) menggambarkan mind-set manusia Barat begini: Theology is known by faith but philosophy should depend only upon reason. Maknanya teologi di Barat tidak masuk akal dan berfilsafat tidak bisa melibatkan keimanan pada Tuhan. Filsafat dan sains di Barat memang area non-teologis alias bebas Tuhan. Tuhan tidak lagi berkaitan dengan ilmu, dunia empiris. Tuhan menjadi seperti mitologi dalam khayalan. Akhirnya Barat kini, dalam bahasa Nietzche, sedang "menempuh ketiadaan yang tanpa batas".

Tapi anehnya, kita tiba-tiba mendengar mahasiswa Muslim "mengusir" Tuhan dari kampusnya dan membuat plesetan tentang Allah gaya-gaya filosof Barat. Ini guyonan yang tidak lucu, dan wacana intelektual yang wagu. Seperti santri sarungan tapi dikepalanya topi cowboy Alaska yang kedodoran. Tidak bisa sujud tapi juga tidak bisa lari. Bagaikan parodi dalam drama kolosal yang berunsur western-tainment.

Konsep Tuhan dalam tradisi intelektual Islam tidak begitu. Konsep itu telah sempurna sejak selesainya tanzil. Bagi seorang pluralis ini jelas supremacy claim. Tapi faktanya Kalam dan falsafah tidak pernah lepas dari Tuhan. Mutakallim dan filosof juga tidak mencari Tuhan baru, tapi sekedar menjelaskan. Penjelasan Al-Quran dan hadith cukup untuk membangun peradaban.

Ketika Islam berhadapan dengan peradaban dunia saat itu, konsep Tuhan, dan teks Al-Quran tidak bermasalah. Hermeneutika allegoris Plato maupun literal Aristotle pun tidak diperlukan. Hujatan terhadap teks dan pelucutan otoritas teolog juga tidak terjadi. Malah kekuatan konsep-konsepnya secara sistemik membentuk suatu pandangan hidup (worldview).

Islam tidak ditinggalkan oleh peradaban yang dibangunnya sendiri. Itulah sebabnya ia berkembang menjadi peradaban yang tangguh. Roger Garaudy yang juga bule itu paham, Islam adalah pandangan terhadap Tuhan, terhadap alam dan terhadap manusia yang membentuk sains, seni, individu dan masyarakat.

Islam membentuk dunia yang bersifat ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus. Jika peradaban Islam dibangun dengan gaya-gaya Barat menghujat Tuhan itu berarti mencampur yang al-haq dengan yang al-batil alias sunt bona mixtra malis. Wallahu alam.

*Penulis Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS)

Read more...

Tokoh yang tidak bisa mengatur dirinya sendiri, tapi ingin mengatur masyarakat

Janggutnya tebal. Tubuhnya tambun. Ia berikrar agama adalah candu, bahkan benalu. Kendati demikian, ia dipuja sekaligus dibenci. Meski tuhan baginya hanya iming-iming bagi orang sulit. Iya, dia memang kesal terhadap Agama. Dengan mata kepala sendiri, ia menyaksikan kepengecutan ayahnya sebagai pendeta Yahudi yang menarik kata-kata dalam khotbahnya di bidang reformasi politik hanya karena takut dikucilkan sebagai bangsa Yahudi.

Adalah Karl Marx, pengusung sejati komunis itu yang sudah bak dewa bagi anak-anak kiri. Nama Karl Marx memang tidak asing di telinga kita. Ia banyak disorot pasca pemikiran-pemikirannya di bidang sosiologi, ekonomi, dan politik menjadi diktat wajib untuk dipelajari di kampus-kampus. Bukunya seperti Das Kapital dan Manifesto Komunis laris manis di pasaran dan coba diterapkan di masyarakat.

Akan tetapi, dibalik pemujaan bahkan kultus bagi generasi muda dunia terhadap diri seorang tokoh atheis tersebut, ada sekelumit catatan hitam dari pengalaman pribadi Marx yang jarang diketahui banyak orang. Kita hanya ingin bertanya: Betulkah Marx bisa mengurus masyarakat sedangkan ia tidak bisa menyelesaikan problem justru di kelompok terkecil dalam masyarakat: Keluarga!

Dalam lembaran catatan kelam tersebut, terkisah bagaimana gambaran hidup Marx selama ini. Pasca ayahnya meninggal, Karl Marx hidup dengan gelimang hutang disana-sini. Dalam kondisi tak berdaya, ia tidak bisa berbuat banyak. Tumpukan hutang yang menggunung menjadi sulit ia entaskan dalam kondisi ketidakadaan seorang ayah.

Wajah seorang ibu yang teduh, kemudian menjadi sasaran bagi Marx. Dengan nekat, Marx membebani utang pribadinya kepada sang ibu yang tengah menjanda. Sayangnya sang ibu malah menolak menjadi sandaran Marx untuk menutupi hutang-hutangnya, disamping keadaan telah renta, kondisi hutang Marx adalah beban tersendiri dalam keluarga.

Namun itu hanyalah sebuah kasus dari sisi negatif Marx selama ini, sebelumnya pada usia relatif remaja, Karl Marx sudah terkenal di kalangan kawan seumurannya sebagai seorang pecinta minuman. Sejak umur 17 tahun, kerongkongan Marx muda telah akrab dijejali literan anggur. Pada seluruh hidupnya tak terbesit sekalipun niat secara serius mencari kerja demi membantu keluarga. Karl Marx baru mendapat sedikit perubahan dalam sisi finansial, saat bertemu seorang pengagumnya yang bekerja di bidang penerbitan.

Menurut Herry Nurdi, Moses Hess demikian nama sang dewa penolong yang terkagum-kagum pada Marx itu. Karir Marx dalam penerbitan Hess meroket secepat kilat. Dari seorang editor ia menjadi pemimpin redaksi. Ia juga menjadi propagandis sosialis nomor wahid kala itu.

Menurut Marx, sudah waktunya bagi sosialisme untuk menuntut dan mendesak tidak lagi menyerukan ide-ide. Pada proses inilah, terjadi pergeseran pemikiran Marx dari seorang teoritis, menjadi ke arah praktis.

Dalam proses inilah Marx juga bertemu seorang komunis tulen yang kelak menjadi sahabatnya Frederich Engles (1820-1895). Seorang sahabat yang sangat sabar membiayai hidup Marx yang miskin dan kacau balau sampai akhir hayatnya.

Pada periode 1849 sampai akhir hayatnya, Marx hidup dalam buangan di Inggris. Sampai ia meninggal Marx memiliki masalah besar dalam mengatur dirinya sendiri. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam perpustakaan British Museum, demi menggali dan menemukan teori ekonomi dan kapital. Kecuali untuk mengunjungi keluarganya yang terbengkalai.

Ketika Marx menulis Das Kapital, sebenarnya hidup Marx berada dalam keprihatinan. Ia hidup penuh kesulitan dan terlunta-lunta. Karl Marx menelurkan konsep ekonomi tanpa memperhatikan sama sekali kehidupan ekonomi keluarganya. Karl Marx bercita-cita tentang arti masyarakat sejahtera, namun sama sekali tidak coba dilaksanakan di keluarganya sendiri. Sang istri begitu pilu hidup bagai perempuan sebatang kara di tengah hutan tanpa banyak mendapat belaian kasih saying sang suami.

Bahkan untuk biaya kehidupan keluarganyapun, harus seorang Frederich Engels mengambil peran yang “ditinggalkan” Karl Marx. Engles lah yang mengucurkan dana keseluruhan bagi biaya hidup keluarga Marx. Berkat Engels pula, Das Kapital yang menjadi rujukan para komunis itu, bisa kita temui lengkap tiga jilid banyaknya.

Cyril Smith dalam bukunya Friedrich Engels and Marx’s Critique of Political Economy, berpendapat bahwa sebenarnya banyak orang percaya bahwa Engels sering gagal memahami karya Marx. Setelah kematian Marx, Engels menjadi juru bicara terkemuka bagi teori Marxian dan dengan mendistorsi dan terlalu meyederhanakan teorinya, meskipun ia tetap setia pada perspektif politik yang telah ia bangun bersama Marx.

Menurut Paul Johnson, sejatinya Karl Marx hanya menulis Das Kapital secara lengkap hanya di jilid pertama, sedangkan dua jilid terakhir di kumpulkan Engels dari surat menyurat yang dilakukannya kepada Karl Marx. Bisa dikata, tanpa ketekunan Engles bisa jadi nama Karl Marx hanya terpasung dalam status seorang pendedam dan pemarah tanpa bisa menyelesaikan tugasnya.

Setelah menyelesaikan jilid pertama dari Das Kapital, tahun 1867, kondisi kesehatan Karl Marx menurun drastis. Tokoh Yahudi tersebut mengalami tingkat kesehatan terburuk dalam hidupnya. Marx berada dalam situasi penuh kesulitan untuk menyelesaikan buku Das Kapitalnya.

Dalam bukunya, Intellectuals, Paul Johnson juga mengambarkan sisi lain dari emosi seorang Karl Marx. Dikisahkan bagaimana jatidiri Marx selama ini tidak lebih selalu dihiasi sifat tempramen, mabuk-mabukan, pemarah serta perokok berat. Saking beratnya, istrinya sendiri menuliskan jika kita masuk ke kamarnya, mata kita akan berair kena asap rokok yang bergumpal-gumpal di dalam kamar Marx. Semuanya kotor dan diselimuti debu, bahkan untuk duduk saja, di kamarnya adalah suatu pekerjaan menjijikan.

Dengan gaya hidup seperti itu, ia telah mengorbankan dirinya sendiri. Ia menjadi sangat jarang membersihkan diri ke kamar mandi, bahkan untuk sekedar mencuci muka. Ia tak memiliki waktu jelas kapan dia tidur dan kapan ia bangun. Bahkan Karl Marx pernah ditangkap polisi karena melakukan kekerasan dan menggunakan pistol akibat akibat emosinya tidak terkontrol. Disebutkan ia, melakukannya dalam keadaan tidak sadar atau sedang mabuk. Marx memang bukan pecandu alkohol, tapi di dalam bukunya Paul Johson mengatakan bahwa Marx memiliki jadwal rutin untuk bermabuk ria.

Istrinya wafat tahun 1881, anak perempuannya tahun 1882 dan Marx sendiri wafat di tahun 1883. Karl Marx seorang yang yang tak bisa mengatur dirinya sendiri itu, kini justru berusaha mengatur masyarakat lewat ekonomi, politik, bahkan sosiologi. Fotonya dibingkai di tembok-tembok sekolah sebagai sosiolog sejati. Ironis.

(Herry Nurdi)



Read more...

Film “?”: Apa Maunya?

Oleh: Dr. Adian Husaini

“Soal akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.”

(Prof. Hamka, dalam Tafsir al-Azhar)

PERLU digarisbawahi, saat menonton film “?” (Tanda Tanya) pada tayangan perdana, 6 April 2011 lalu, saya adalah seorang Muslim. Saat memberikan komentar dan memberikan catatan kritis ini, saya juga tetap Muslim, dan saya menggunakan perspektif Islam dalam menganalisis film “?”. Sebagai Muslim, saya telah berikrar: "Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah."

Dengan syahadat Islam itu, saya bersaksi, saya mengakui, bahwa Tuhan saya adalah Allah. Tuhan saya bukan Yahweh, bukan Yesus, bukan Syiwa. Tuhan saya Satu. Tuhan saya tidak beranak dan tidak diperanakkan. Saya mengenal nama dan sifat Allah bukan dari budaya, bukan dari hasil konsensus, tapi dari al-Quran yang saya yakini sebagai wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad saw. Karena itu, sejak dulu, dan sampai kiamat, saya dan semua orang Muslim memanggil Tuhan dengan nama yang sama, Allah, yang jelas-jelas berasal dari wahyu.

Sebagai Muslim, saya yakin, bahwa Nabi Muhammad saw diutus oleh Allah sebagai nabi terakhir. Sebagaimana para nabi sebelumnya – seperti Nabi Musa dan Nabi Isa a.s. – inti ajaran Nabi Muhammad saw adalah Tauhid, yaitu mensatukan Allah. Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh manusia (QS 34:28), bukan hanya untuk bangsa atau kurun tertentu.

Itu artinya, kebenaran Islam, bukan hanya berlaku untuk orang Islam, tetapi berlaku untuk semua manusia. Syariat Nabi Muhammad saw saat ini adalah satu-satunya syariat yang sah untuk seluruh manusia. Cara beribadah kepada Allah – satu-satunya – yang sah hanyalah dengan syariat Nabi Muhammad saw. Jalan yang sah menuju Tuhan hanyalah jalan yang dibawa Nabi Muhammad saw.

Akal saya tidak bisa menerima satu logika, yang menyatakan, bahwa Allah telah menurunkan Nabi-Nya yang terakhir, dan kemudian Allah SWT membebaskan manusia untuk memanggil nama-Nya dengan nama apa pun, sesuai dengan selera manusia. Juga, tidak masuk di akal saya, pendapat yang menyatakan, bahwa Allah SWT membebaskan manusia untuk menyembah-Nya dengan cara apa pun, sesuai dengan kreativitas akal dan hasrat nafsu manusia.

Saya yakin, sesuai QS 3:19 dan 3:85, bahwa Allah hanya menurunkan satu agama untuk seluruh Nabi-Nya, yakni agama yang mengajarkan Tauhid (QS 16:36). Jika satu agama tidak mengajarkan Tauhid, pasti bukan agama yang diturunkan Allah untuk para Nabinya; dan pasti merupakan agama budaya (cultural religion).
Itu keyakinan saya sebagai Muslim. Dan itu konsekuensi logis dari syahadat yang saya ikrarkan!

***

Alkisah, Rika, seorang istri yang kecewa terhadap suami. Rika memutuskan pindah agama, dari Islam menjadi Katolik. Ia berujar, bahwa kepindahan agamanya bukan berarti mengkhianati Tuhan. Meskipun Katolik, Rika sangat toleran. Anaknya , – masih kecil, bernama Abi –dibiarkannya tetap Muslim. Bahkan, ia mengantarjemput anaknya ke masjid, belajar mengaji al-Quran. Di bulan puasa, dia temani dan dia ajar Abi berdoa makan sahur.

Di Film “?” (Tanda Tanya), Rika ditampilkan sebagai sosok ideal: murtad dari Islam, tapi toleran dan suka kerukunan. Pada segmen lain, secara verbatim Rika mengatakan, BAHWA agama-agama ibarat jalan setapak yang berbeda-beda tetapi menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan. Kata Rika mengutip ungkapan sebuah buku, “… semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama; mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.”

Mulanya, kemurtadan Rika tidak direstui ibunya. Anaknya yang Muslim pun awalnya menggugat. Tapi, di ujung film, Rika sudah diterima sebagai “orang murtad” dari Islam. Bahkan, ada juga yang memujinya telah mengambil langkah besar dalam hidupnya.

Kisah dan sosok Rika cukup mendominasi alur cerita dalam film “?” garapan Hanung Bramantyo ini. Rika tidak dipersoalkan kemurtadannya. Padahal, dalam pandangan Islam, murtad adalah kesalahan besar. Saat duduk di bangku SMP, saya sudah menamatkan satu Kitab berjudul Sullamut Tawfiq karya Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim. Kitab ini termasuk yang mendapatkan perhatian serius dari Imam Nawawi al-Bantani, sehingga beliau memberikan syarah atas kitab yang biasanya dipasangkan dengan Kitab Safinatun Najah.

Dalam kitab inilah, sebenarnya umat Islam diingatkan agar menjaga Islamnya dari hal-hal yang membatalkannya, yakni murtad (riddah). Dijelaskan juga dalam kitab ini, bahwa ada tiga jenis riddah, yaitu murtad dengan I’tiqad, murtad dengan lisan, dan murtad dengan perbuatan. Contoh murtad dari segi I’tiqad, misalnya, ragu-ragu terhadap wujud Allah, atau ragu terhadap kenabian Muhammad saw, atau ragu terhadap al-Quran, atau ragu terhadap Hari Akhir, sorga, neraka, pahala, siksa, dan sejenisnya.

Masalah kemurtadan ini senantiasa mendapatkan perhatian serius dari setiap Muslim, sebab ini sudah menyangkut aspek yang sangat mendasar dalam pandangan Islam, yaitu masalah iman. Dalam pandangan Islam, murtad (batalnya keimanan) seseorang, bukanlah hal yang kecil. Jika iman batal, maka hilanglah pondasi keislamannya. Banyak ayat al-Quran yang menyebutkan bahaya dan resiko pemurtadan bagi seorang Muslim.

”Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS 2:217).

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS 24:39).

Jadi, riddah/kemurtadan adalah masalah besar dalam pandangan Islam. Entahlah dimata kaum Pluralis! Tindakan murtad bukan untuk dipertontonkan dan dibangga-banggakan! Dalam perspektif Islam, patutkah seorang bangga dengan kekafirannya?

***

Masih menyorot sosok Rika dalam film “?”. Rika pindah agama, dari Islam menjadi Katolik. Dalam konsepsi Islam, Rika bisa dikatakan telah melakukan dosa syirik, karena mengakui Yesus sebagai Tuhan atau salah satu Oknum dalam Trinitas. Padahal, dalam al-Quran Nabi Isa a.s. jelas-jelas menegaskan dirinya sebagai Rasul Allah. Nabi Isa adalah manusia, dan bukan Tuhan, atau anak Tuhan. Ini pandangan Islam. Tentu, ini bukan pandangan Kristen.

Dalam perspektif Islam, menurunkan derajat al-Khaliq ke derajat makhluk adalah tindakan tidak beradab. Begitu juga sebaliknya, menaikkan derajat makhluk ke derajat al-Khaliq juga tidak beradab. Itu musyrik namanya. Seorang presiden saja tidak mau disamakan dengan rakyat biasa. Jika lewat, dia minta diistimewakan. Kita diminta minggir. Binatang juga dibeda-bedakan tempat atau kandangnya. Adab -- dalam konsepsi Islam -- mewajibkan seorang Muslim meletakkan segala sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang sebenarnya, sesuai ketentuan Allah. Nabi Isa a.s. adalah utusan Allah. Tugasnya menyampaikan kepada Bani Israel, siapa Tuhan yang sebenarnya, dan bagaimana cara menyembah-Nya. Nabi Isa a.s. melanjutkan syariat Nabi Musa a.s.

Menuduh Allah mempunyai anak – menurut al-Quran – adalah sebuah kesalahan yang sangat serius. “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS 19: 88-91).

Islam memandang keimanan sebagai hal terpenting dan mendasar dalam kehidupan. Iman akan dibawa mati. Iman lebih dari soal suku, bangsa, bahkan hubungan darah. Iman bukan “baju”, yang bisa ditukar dan dilepas kapan saja si empunya suka. Iman juga tidak patut diperjualbelikan: ditukar dengan godaan-godaan duniawi. Ada perbedaan prinsip antara mukmin dan kafir. “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya.” (QS 98:6).

Demi mempertahankan iman, Nabi Ibrahim a.s. rela berpisah dengan ayah dan kaumnya. Melihat tradisi penyembahan berhala pada keluarga dan kaumnya, Ibrahim a.s. tidak berpikir sebagai seorang Pluralis yang menyatakan, bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, dan punya tujuan yang sama. Tapi, Nabi Ibrahim berdiri kokoh pada prinsip Tauhid, mengajak kaumnya untuk meningalkan tradisi syirik.

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala ini sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau dalam kesesatan yang nyata.” (QS 6:74).

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikan negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 14:35-36)

“Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif dan Muslim, dan dia bukanlah orang musyrik.” (QS 3:67).

Dan kini, dalam setiap shalat, kaum Muslim membacakan doa untuk Nabi Muhammad saw dan sekaligus dirangkaikan dengan doa untuk Nabi Ibrahim a.s. Itu tentu karena kegigihan Nabi Ibrahim dalam menegakkan ajaran Tauhid dan bukan karena Nabi Ibrahim seorang musyrik!

Maka, sebagai Muslim, saya tentu boleh merasa heran, dan penuh Tanda Tanya, mengapa dalam film “?” -- yang diproduksi dan digarap seorang yang beragama Islam -- soal ganti agama, soal keluar dari Islam, soal pergantian mukmin menjadi kafir, dianggap perkara kecil dan remeh?

***

Syahdan, para pemikir ateis, seperti Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, Jean Paul Sartre dan sejenisnya, terkenal dengan gagasan-gagasan yang memandang agama dan Tuhan sudah tidak diperlukan lagi di era zaman modern ini. Mereka beramai-ramai mempermainkan Tuhan. Jean-Paul Sartre (1905-1980) menyatakan: “even if God existed, it will still necessary to reject him, since the idea of God negates our freedom.” (Karem Armstrong, History of God, 1993). Thomas J. Altizer, dalam “The Gospel of Christian Atheism” (1966) menyatakan: “Only by accepting and even willing the death of God in our experience can we be liberated from slavery…” (Karen Armstrong, History of God)

Friedrich Nietzsche, dalam karyanya, Also Sprach Zarathustra, mengungkap gagasan bahwa “Tuhan sudah mati”. Karena Tuhan sudah mati, dan tidak diperlukan lagi, Nietzsche berpendapat, “Kepercayaan adalah musuh yang lebih berbahaya bagi kebenaran, dibanding kebohongam.” Nietzsche ingin bebas dari segala aturan moral, ingin bebas dari Tuhan. Ujungnya, pada 25 Agustus 1900, ia mati setelah menderita kelainan jiwa dan penyakit kelamin. (Lihat, B.E. Matindas, Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern, 2010).

Jika direnungkan secara serius, Pluralisme Agama sejatinya bisa begitu dekat dengan ateisme. Ketika orang menyatakan, “semua agama benar”, sejatinya bersemayam juga satu ide dalam dirinya, bahwa “semua agama salah”. Sebab, “Tuhan” (God), yang dipersepsikan kaum Pluralis adalah Tuhan yang abstrak. Tuhan kaum Pluralis adalah Tuhan dalam angan-angan, yang boleh diberi nama siapa saja, diberi sifat apa saja, dan cara menyembahnya pun boleh suka-suka. Kapan suka disembah, kapan-kapan tidak suka, bisa diganti dengan Tuhan lain. Cara menyembah Tuhan, menurut mereka, juga sesuka selera manusia. Bosan dengan cara satu, bisa diganti dengan cara lain. Sebab, dalam konsep mereka, tidak ada satu cara yang pasti benar dalam ibadah, sesuai petunjuk seorang Nabi.

Tuhan dalam Islam mengharamkan babi. Pada saat yang sama, Tuhan dalam agama Kristen menghalalkan babi.

Tuhan, dalam agama Bhairawa Tantra, memerintahkan agar menyembelih wanita dan darahnya kemudian diminum bersama-sama. Tuhan dalam agama Children of God menganjurkan seks bebas, sebagai wujud rasa kasih sayang antar-sesama manusia. Kini, di daratan Amerika dan Eropa bermunculan gereja-gereja nudis. Baik pendeta maupun jemaatnya, semuanya telanjang bulat saat melakukan kebaktian. Jika semua jenis “Tuhan” itu diangga sama saja, maka “Tuhan” yang mana yang disembah kaum Pluralis?

Jadi, saat seorang yang mengaku Pluralis berkata, “Semua agama menyembah Tuhan yang sama”, maka secara hakiki, dia telah berdiri di luar Islam. Sebab, dia tidak lagi menuhankan Allah. “Tuhan”, baginya, bisa siapa saja, berupa apa saja, dan berwujud apa saja. Bisa disebut Yehweh, bisa Allah, bisa Yesus, bisa Brahmin, dan bisa juga Iblis! Yang penting dikatakan “Tuhan”, yang penting God! Padahal, seorang Muslim sudah mengikrarkan syahadat: “Tidak ada Tuhan selain Allah”.

Meskipun menyebut Tuhan mereka dengan “Allah”, tetapi kaum Quraisy ketika itu dikatakan sebagai “musyrik”, sebab mereka menyekutukan Allah dengan Tuhan-tuhan lain. Allah hanyalah salah satu dari Tuhan-tuhan mereka; bukan Tuhan satu-satunya. Sebutan bisa sama, yakni “Allah”, tetapi konsepnya berbeda-beda. Sebagian besar kaum Kristen di Indonesia menyebut juga Tuhan mereka dengan sebutan “Allah”, tetapi konsepnya berbeda dengan “Allah” dalam Islam.

Lain lagi dengan aliran “Darmogandul” di Tanah Jawa, yang mengartikan Allah dengan “ala” (bahasa Jawa, artinya jelek). Dalam salah satu bait Pangkur-nya, Kitab Darmogandul, menyatakan: “Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.”

Jadi, Tuhan yang mana yang disembah kaum Pluralis? Jika Tuhan apa pun sama saja, lalu apa artinya Tuhan bagi mereka? Ujung-ujungnya bisa jadi: Tuhan tidak penting! Sebab, dalam pandangan kaum ini, Tuhan yang sejati (Allah), atau manusia, atau setan dianggap sama saja. Semua bisa menjadi Tuhan dan dituhankan. Ujung-ujungnya, Tuhan dianggap tidak penting. Bandingkan dengan sosok Sigmund Freud, psikolog dan salah satu perintis ateisme modern, yang berteori bahwa “Bertuhan, hanyalah wujud gejala penyakit jiwa infantilisme (penyakit kekanak-kanakan). (B.E. Matindas, ibid).

Ketidakjelasan posisi teologis kaum Pluralis Agama, digambarkan oleh Dr. Stevri Lumintang, seorang pendeta Kristen di Malang, dalam bukunya, Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004).

Dicatat dalam ilustrasi sampul buku ini, bahwa Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis ; bahwa teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.

Ditegaskan dalam buku ini: ‘’Inti Teologi Abu-Abu (Pluralisme) merupakan penyangkalan terhadap intisari atau jatidiri semua agama yang ada. Karena, perjuangan mereka membangun Teologi Abu-Abu atau teologi agama-agama, harus dimulai dari usaha untuk menghancurkan batu sandungan yang menghalangi perwujudan teologi mereka. Batu sandungan utama yang harus mereka hancurkan atau paling tidak yang harus digulingkan ialah klaim kabsolutan dan kefinalitas(an) kebenaran yang ada di masing-masing agama.’’

***

Sosok lain yang secara dominan ditampilkan dalam Film “?” adalah seorang bernama Surya. Ia seorang laki-laki Muslim, berprofesi sebagai aktor figuran. Dia berteman dengan Rika. Karena miskin, ia terusir dari rumah kosnya. Lihatlah, dalam film ini, Ibu Kos yang “bakhil” itu ditampilkan dalam sosok berjilbab, dan mengajari anak Rika agar membaca buku-buku Islam!

Surya memuji-muji Rika telah melakukan sesuatu yang berarti dalam hidupnya. Mereka berkawan akrab. Surya ditampilkan sebagai sosok yang polos, kocak dan naif. Untuk uang, dan mungkin untuk mempertontonkan fenomena “kerukunan umat beragama”, Surya menerima tawaran Rika agar berperan sebagai Yesus. Ia rela beradegan – seolah-olah -- dipaku di tiang salib di sebuah Gereja Katolik saat perayaan Paskah. Pada kali lain, ia berperan sebagai Santa Claus. Sebagian jemaat Gereja sempat memprotes sosok Yesus diperankan seorang Muslim. Terjadi perdebatan. Muncul Pastor yang menyetujui penunjukan Surya sebagai tokoh Yesus.

Seperti halnya Rika, tampaknya sosok Surya ditampilkan sebagai representasi fenomena toleransi dan “kerukunan”. Setelah merelakan dirinya berperan sebagai Yesus, Surya kembali ke masjid membaca surat al-Ikhlas, sebuah surat dalam al-Quran yang menegaskan kemurnian Tauhid. “Katakan, Allah itu satu. Allah tempat meminta. Allah tidak beranak dan diperanakkan. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” Allah itu satu! Allah tidak punya anak! Ini gambaran dalam Film “?” karya Hanung ini.

Padahal, surat al-Ikhlas seperti mengoreksi doktrin pokok dalam agama Kristen, yang dirumuskan sekitar 300 tahun sebelumnya, di Konsili Nicea (325 M), sebagaimana disebutkan dalam Nicene Creed:

“Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa…” (Norman P. Tanner, Konsili-konsili Gereja).

Padahal, al-Quran sudah menjelaskan: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (QS 61:6). Dalam al-Quran, ada cerita Lukmanul Hakim yang menesehati anaknya: “Syirik adalah kezaliman besar.” (QS 31:13).

Beratus tahun, sejak kelahirannya, Islam membuktikan sebagai agama yang sangat toleran. Sejak awal, Islam mengakui dan menghargai perbedaan, tanpa harus kehilangan keyakinan.

Saat Nabi Muhammad s.a.w. diutus, di wilayah Timur Tengah, sudah eksis pemeluk Yahudi, Kristen, dan kaum musyrik Arab. Nabi Muhammad s.a.w. mengajak mereka untuk memeluk Islam, mengakui Allah satu-satunya Tuhan dan dirinya adalah utusan Allah. Nabi tidak menyatakan, “Semua agama sama-sama jalan yang sah menuju Tuhan!” Bahkan, ada perintah al-Quran dalam surat al-Kafirun (109): “Katakan, hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah! Dan tidak pula kamu menyembah apa yang aku sembah! Dan aku bukanlah penyembah sebagaimana kamu menyembah! Dan kamu bukanlah pula penyembah sebagaimana aku menyembah!”

Dalam Tafsirnya, Al-Azhar, Prof. Hamka menjelaskan, asbabun nuzul surat al-Kafirun ini berkaitan dengan tawaran damai empat tokoh kafir Quraisy yang resah dengan dakwah Tauhid Nabi Muhammad saw. Mereka adalah al-Walid bin al-Mughirah, al-Ash bin Wail, al-Aswad bin al-Muthalib dan Umaiyah bin Khalaf. Mereka mengajukan usulan: “Ya Muhammad! Mari kita berdamai. Kami bersedia menyembah apa yang engkau sembah, tetapi engkau pun hendaknya bersedia pula menyembah yang kami sembah….”

Buya Hamka mencatat: “Soal akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.”

Lebih jauh Buya Hamka menjelaskan: “Surat ini memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan. Kalau yang haq hendak dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil jualah yang menang.”

Itulah paparan Buya Hamka, ulama terkenal dan salah satu Pahlawan Nasional di Indonesia. Kita bisa menyimpulkan, jika ada yang menyatakan, bahwa “semua agama adalah jalan kebenaran”, saat itu dikepalanya telah hilang konsep iman dan kufur, konsep tauhid dan syirik. Baginya, tiada penting lagi, apakah seorang bertauhid atau musyrik; tak perlu dipersoalkan makan babi atau ayam, minum khamr atau jus kurma; tidak penting lagi berjilbab atau telanjang; tiada beda antara nikah atau zina; yang penting – katanya – adalah mengasihi sesama manusia. Saat itu, sejatinya, agama-agama sudah tidak ada; sudah diganti dengan SATU AGAMA: “agama global”, “agama universal”, “agama kemanusiaan”, atau “agama cinta”.

Persaudaraan global antar-sesama tanpa memandang agama menjadi misi terpenting dari kelompok lintas-agama semacam Theosofi dan Freemason. Ketua Theosofische Vereeniging Hindia Belanda, D. Van Hinloopen Labberton pada majalah Teosofi bulan Desember 1912 menulis: "Kemajuan manusia itu dengan atau tidak dengan agama? Saya kira bila beragama tanpa alasan, dan bila beragama tidak dengan pengetahuan agama yang sejati, mustahil bisa maju batinnya. Tidak usah peduli agama apa yang dianutnya. Sebab yang disebut agama itu sifatnya: cinta pada sesama, ringan memberi pertolongan, dan sopan budinya. Jadi yang disebut agama yang sejati itu bukannya perkara lahir, tetapi perkara dalam hati, batin.

Inikah yang dituju oleh Film “?” Jangan menuduh! Silakan dicermati dan direnungkan!


***

Masih ada sosok lain yang diidolakan dalam film “?”. Namanya, Menuk. Dia seorang muslimah, berjilbab pula. Menuk bekerja di sebuah retoran China. Bermacam makanan dijual di sana, termasuk babi. Dengan mencolok kepala babi ditampilkan. Kata si empunya restoran, bahan babi dan bahan lain dipisahkan.

Menuk diterima bekerja dengan baik di restoran ini. Ia diberi kebebasan ibadah. Dalam salah satu segmen, ditayangkan Menuk sedang shalat, disampingnya Nyonya pemilik restoran juga sedang bersembahyang sesuai dengan agamanya.

Pesan dari pemunculan sosok Menuk ini cukup jelas: inilah contoh toleransi! Muslimah berjilbab rela bekerja di sebuah restoran yang menjual babi.

Syukurlah, di akhir cerita, anak pemilik restoran bersedia memeluk Islam. Ini tentu baik, dalam perspektif Islam. Tetapi, apakah perlu harus melalui proses bekerja di sebuah restoran yang menjual babi?

Tujuan baik tidak boleh menghalalkan segala cara. Tujuan memberi nafkah keluarga adalah baik. Tetapi, cara yang ditempuh pun harus baik. Banyak muslimah yang gigih membantu ekonomi keluarganya dengan bekerja keras dalam berbagai bidang profesi, dan juga toleran dengan yang lain. Tapi, apakah Menuk sosok Muslimah yang ideal untuk ditampilkan?

Walhasil, Film “?” karya Hanung Bramantyo ini membawa pesan besar yang terlalu jelas: agama apa saja, sebenarnya sama saja! Agama-agama dipandang sebagai jalan setapak menuju Tuhan yang sama. Juga, agama-agama dianggap barang remeh; laksana baju, agama boleh ditukar dan -- kalau perlu -- dibuang kapan saja! Katanya, demi kerukunan, demi toleransi, dan demi perdamaian.

Akhirul kalam, di era globalisasi dan kebebasan informasi, saat kemusyrikan dan kemurtadan ditampilkan dalam wujud yang menawan dan menghibur, ada baiknya kita merenungkan satu ayat al-Quran: "Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan setan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian lainnya perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu." (QS 6:112)

Juga, Nabi Muhammad saw pernah bersabda: “Bersegaralah mengerjakan amal shalih, (sebab) akan datang banyak fitnah laksana malam yang gelap gulita. Pada pagi hari, seseorang berada dalam keadaan mukmin, tetapi sore harinya menjadi kafir. (Atau) sore harinya dia mukmin, pagi harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan harta-benda dunia.” (HR Muslim). Wallahu a’lam bil-shawab.*/Depok, 10 April 2011

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com






Read more...

Ombat Nasution, Pengusaha Plus Advokat Kasus Terorisme yang Berjihad lewat Musik Underground

Pengacara kasus terorisme dengan terpidana Muhammad Jibril, Ombat Nasution SH, memiliki dua sisi kehidupan unik. Selain menjadi advokat, pria 38 tahun itu adalah pendiri sekaligus vokalis Tengkorak, band aliran heavy metal yang mengangkat tema jihad dan pesan Islam dalam karyanya. RUMAH toko (ruko) empat lantai itu terletak di kawasan Kreo, Ciledug, Jakarta.

Begitu masuk ke dalam ruko tersebut, di lantai 1 terdapat berbagai benda promosi produk yang terbuat dari tripleks Juga ada panggung knock down yang ditata rapi. Di lantai 2, pemandangan terlihat berbeda jika dibandingkan dengan di lantai 1. Di lantai 2, suasananya adalah ruang kerja.

Ada buku-buku yang ditata rapi di lemari khusus. Ternyata, itu adalah ruang kerja utama Muhammad Hariadi Nasution atau lebih terkenal dengan panggilan Ombat Nasution, ketua Lembaga Bantuan Hukum Muslim Indonesia (LBHMI).

Nama Ombat kerap disinggung pers karena dia adalah kuasa hukum terpidana kasus terorisme Muhammad Jibril. Seharihari Ombat adalah pria dengan multiprofesi yang bertolak belakang. Selain menjadi pengacara kasus terorisme, Ombat pendiri band aliran grindcore pertama di Indonesia yang bernama Tengkorak. Pria kelahiran Jakarta, 11 April 1973, itu juga anggota aktif Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) sekaligus direktur utama PT Sebelas April Lian Mipro yang bergerak di bidang event organizer, promotor, dan merchandise.

Ragam profesi itu dijalankan dari ruang kendali seluas sekitar 7 meter x 4 meter di lantai 2 ruko tersebut. ’’Alhamdulilah, beragam profesi yang saya miliki ini saya cintai semua. Jadi, nggak ada yang terbengkalai,’’ ujar pria berkepala plontos itu, lantas tersenyum. Lulusan magister hukum (S-2) Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta itu kemudian membuka laptop di meja kerja.

Setelah berbicara soal hukum, Ombat mengubah topik dan menunjukkan puluhan lagu gubahan band Tengkorak yang telah beredar dalam empat album hit single dan belasan album kompilasi. Album single tersebut, antara lain, Konsentrasi Massa (1999), Darurat Sipil (2002), Civil Emergency (2005), dan Agenda Suram (2007). Band Tengkorak kini memiliki lima personel, yakni Ombat (lead vocal), Haryo ”Yoyok” Radianto (gitar), Budi (bas), Ronie Yuska (drum), dan Samir (gitar). Band itu adalah band pertama yang mengusung aliran grindcore ke Indonesia sejak berdiri pada 1993.

Bahkan, Tengkorak pernah mencatatkan diri dalam album kompilasi berjudul It’s a Proud to Vomit Him (1995) bersama musisi-musisi band underground dunia. Album tersebut dirilis ulang di tujuh negara dan distribusinya sampai di 28 negara di seluruh dunia. ’’Aliran musik ini kan bukan musik mainstream. Pasarnya, komunitas dan peredarannya memang langka, terutama di Indonesia,’’ kata dia.

Yang membuat Tengkorak berbeda dengan band-band heavy metal lain terletak pada prinsip dan idealisme Islam dan anti- Zionis yang diusungnya. Meski tampil urakan, soal prinsip, bagi Ombat dkk, adalah nomor satu. Ketika azan berkumandang, mereka menghentikan aktivitasnya dan salat terlebih dahulu. Bagi mereka, Islam tetap nomor satu jika dibandingkan dengan apa pun.

Berbeda dengan lirik lagu metal lain yang bertema anti Tuhan, memuja setan dan kebebasan. Lirik-lirik lagu Tengkorak bersumber dari sirah nabawi, Alquran, dan hadis. Menurut Ombat, itu adalah perjuangan anak band underground untuk berjihad dengan musik. Anggota ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) itu mengatakan, metamorfosis Tengkorak terjadi setelah bertahun- tahun berkarya di musik underground yang identik dengan perilaku kasar, arogan, dan liar.

Dulu Tengkorak sama seperti band underground lain yang menggunakan simbol metal tiga jari, yakni tanda jempol, telunjuk, dan jari kelingking. Ternyata, simbol itu merujuk pada simbol setan dengan dua tanduknya dan anti-Tuhan. Kini, Tengkorak menggagas tren baru, yakni mengganti salam metal dengan salam satu jari. (c6/kum)

Read more...

Untuk Apa Berkoalisi Kalau Tidak Bisa Melakukan Nahi Munkar?

Hari-hari akhir segera nampak bahwa Presiden SBY akan mengeluarkan diantara anggota gerbong koalisinya. Hanya menunggu hitungan jam, Presiden akan mengumumkan pergantian kabinet.

Alasannya Presiden dan pendukungnya ingin menciptakan soliditas pemerintahan dan stabilitas politik, serta kuatnya dukungan parlemen.

Secara ‘fatsoen politik’ etika dalam berpolitik, semua partai yang diikat dalam koalisi harus seia-sekata dengan apapun yang menjadi kebijakan pemerintah. Tidak boleh ada yang bersuara ‘dissent’ (sumbang), semua peserta dalam koalisi harus menjadi ‘pak turut’, betapapun kebijakan itu, tak sejalan dengan kehendak rakyat.

Dua momentum penting dalam kehidupan politik di Indonesia, terkait dengan kasus bail out Bank Century dan Mafia Pajak, pemerintah mempunyai sikap yang tidak sejalan dengan partai-partai yang sekarang ini akan digusur dari kabinet.

Persoalannya adakah usaha-usaha untuk mengungkap korupsi itu menjadi sebuah kejahatan di Indonesia? Seperti dibentuknya Pansus Century dan Pajak, yang menjadi sebuah tuntutan publik, karena rakyat ingin melihat kasus itu menjadi sebuah kasus yang terbuka, dan membuka kasus korupsi menjadi ‘domain’ publik, yang harus di buka selebar-lebarnya.

Tetapi, dua kasus yang menjadi perhatian seluruh publik di negeri ini, yang menginginkan perubahan kearah kehidupan yang lebih baik,bebas dari segala bentuk korupsi, kemudian menjadi sebuah preseden politik, dan kekuatan politik yang mendukung Pansus harus digusur dari pemerintahan.

Apakah bagi kekuatan politik yang sudah tergabung dalam koalisi tidak diberi hak untuk melakukan ‘nahi mungkar’? Apakah kasus bail out Bank Century dan adanya Mafia Pajak, bukan sebuah kemungkaran yang harus diselidiki dan kemudian diambil sebuah tindakan hukum?

Apakah usaha-usaha untuk membongkar setiap kejahatan korupsi, kemudian harus menjadi sebuah kejahatan bagi kekuatan pollitik yang melakukannya? Ini yang menjadi persoalan yang sangat esensial, yang harus menjadi pertanyaan sekarang ini?

Sejatinya, jikaPresiden SBY dan Partai Demokrat, mempunyai komitmen yang serius untuk membangun pemerintah yang bersih “good governance”, seharusnya pemerintah mendukung setiap kekuatan dan elemen politik manapun, dan tidak menjadikan mereka musuh.

Apakah dengan membongkar kasus bail out Bank Century dan Mafia Pajak, kemudian akan menjadi ancaman pemerintah SBY?

Rasanya kalau paradigma yang mendasari reshuffle yang akan diambil oleh Presiden SBY hanya karena berlatar belakang dengan tidak sejalannya partai-partai yang ikut dalam Pansus Century dan Pajak, itu menjadi sangat naïf.

Pergantian kabinet dengan latar belakang seperti itu, dan kemudian memasukkan partai-partai baru yang hanya menjadi instrument pemerintah untuk sekadar menjadi “pak turut”, maka ini hanya akan membawa proses pembusukkan pemerintahan SBY. Karena tidak ada lagi kontrol dari kekuatan politik, dan tidak ada lagi nahi mungkar.

Indonesia akan kembali terjerumus ke era Orde Baru, di mana kekuatan politik hanya bisa menjadi, “pak turut”, sebuah oligarki yang resisten terhadap kehendak rakyat. Tidak lagi memiliki kepekaan terhadap kondisi rakyat yang ada.

Sebuah pengulangan sejarah kehidupan Orde Baru, yang hanya ada satu “suara”, yang sesuai dengan keinginan pemerintah, bukan keinginan rakyat, yang sekarang menuntut akuntabel dan transparansi dalam pengelolaan negara. Inilah sebuah dilemma yang akan dihadapi pemerintahan Presiden SBY.

Seharusnya SBY mendorong partai-artai politik untuk memberikan sumbangan bagi perbaikan negara yang lebih adil dan sejahtera? Sementara itu, korupsi dan nepotisme seharusnya menjadi "common enemy".

Lalu untuk apa sejatinya partai-partai yang ada dalam koalisi kalau tidak dapat menegakkan amar ma’ruf nahi munkar?

Apalagi dalam sistem pemerintahan sekuler yang tidak memiliki landasan yang jelas dalam mengelola negara. Semuanya menjadi relatif, dan kebenaran pun menjadi relatif.

Ikut dalam pemerintahan sekuler yang tanpa paradigma yang pasti hanya akan menemukan kegagalan. Wallahu'alam.

Read more...

Jalan Penyelesaian Ahmadiyah

dakwatuna.com – Sewaktu masih kuliah di Islamabad, Pakistan, saya sempat beberapa kali ke kota Lahore, ibukota provinsi Punjab. Jarak Islamabad – Lahore sekitar 300 kilometer. Dan, meski Islamabad adalah ibukota negara, sesungguhnya kota budaya Pakistan adalah Lahore. Selain memiliki banyak universitas, Lahore merupakan saksi dari lanskap peradaban yang amat panjang. Di kota itu terdapat Masjid Badhsahi, tempat di mana Allama Iqbal, penyair besar Pakistan, acap mementaskan pembacaan puisi-puisinya yang mengagumkan. Di kota ini pula terdapat pusat jamaah Ahmadiyah (selain Qadian di India) sehingga dikenal jamaah Ahmadiyah Lahore.

Ribut-ribut soal Ahmadiyah di tanah air saat ini, mengingatkan saya saat ke Lahore sekian tahun lalu. Waktu itu, mobil bis yang saya tumpangi mogok di tengah jalan. Oleh sopir, kami dipindah ke mobil wagon yang hanya mampu memuat sebagian penumpang. Karena hari sudah mulai gelap, dan – mungkin – karena saya dianggap foreigner, oleh sopir saya didahulukan bersama sejumlah orang tua. Rupanya, di antara penumpang wagon ada seorang pengikut Ahmadiyah. Saya tahu itu, saat kami sudah sampai di kota Lahore, dan saya mencari masjid untuk shalat Maghrib dan Isya yang digabungkan.

Demi menyadari saya sedang celingukan, Bapak tersebut menawarkan shalat di tempatnya. Namun Bapak itu terlihat ragu. Ia buru-buru menambahkan, “Tapi ini bukan masjid. Kami tidak berhak menyebutnya demikian. Ini adalah Bait al-Hikmah.” Saya pun menolak dengan halus. Saya teringat bahwa Umar bin Khattab menolak shalat di synagogue Yahudi saat ia menguasai Palestina. Tak ada larangan, memang. Tetapi Umar khawatir jika ia melakukannya akan menjadi preseden bagi yang lainnya. Dalam konstitusi Pakistan, Ahmadiyah memang tidak dimasukkan dalam kelompok Islam. Setelah terjadi ketegangan antara Ahmadiyah dan umat Islam Pakistan, Parlemen Pakistan melakukan amandemen ke-dua tahun 1974 atas konstitusinya. Isinya, antara lain, menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah suatu aliran di luar Islam dan menjadi bagian dari agama minoritas (Pasal 260 ayat 3b). Sejak itu, ketegangan tentang Ahmadiyah tidak pernah lagi terdengar di Pakistan. Mereka hidup berdampingan sebagai aliran (agama) baru non-Islam.

Konsekuensinya, secara legal-kultural, mereka tidak berhak menggunakan idiom yang lazim digunakan umat Islam. Seperti masjid, adzan, shalat, haji dan seterusnya. Sehingga, rumah ibadahnya pun disebut sebagai Bait al-Hikmah. Konsekuensi politik pun demikian. Karena tergolong minoritas, Ahmadiyah hanya berhak memperebutkan kursi sepuluh persen di parlemen bersama-sama agama minoritas lain di negeri itu. Bagi para penganut demokrasi liberal, keputusan itu terlihat diskriminatif. Tetapi patut diingat, Pakistan memang bukan sebuah negara demokrasi liberal an-sich. Negeri itu dibangun atas dasar agama (Islam) sehingga pemahaman demokrasi dibatasi dalam dikotomi Islam dan agama minoritas. Harap diingat, pemisahan mereka dari India di tahun 1947 memang didasarkan pada pemisahan agama Hindu (India) dan Islam (Pakistan).

Karena itu, dalam menyikapi kasus Ahmadiyah di Indonesia, setidaknya ada dua hal yang mesti dicermati. Pertama secara teologis. Seperti diketahui, Ahmadiyah mengklaim Mirza Ghulam Ahmad (selanjutnya disebut, MGA) adalah seorang Nabi. Belakangan, karena desakan berbagai pihak, Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) menghapus kata Nabi dan mempertahankan gelar, “pembawa kabar baik dan buruk (mubasyirat)” kepadanya.

Dalam pandangan Islam baik Sunni ataupun Syiah, doktrin kenabian telah mencapai kata sepakat. Yaitu bahwa Nabi Muhammad (saw) adalah “Khatam an-Nabiyyin”. Doktrin ini berbasis pada ayat dalam al-Qur’an, “adalah penutup segala Nabi.” Sedemikian pentingnya doktrin tersebut, sehingga siapapun yang memiliki pandangan menyimpang wajib dinyatakan telah keluar dari Islam. Dalam sejarah Islam, Musailamah adalah tokoh pertama yang mengklaim sebagai Nabi setelah kematian Rasulallah saw. Musailamah kemudian dibunuh oleh Wahsyi, seorang budak hitam yang sebelum masuk Islam membunuh Hamzah, paman Nabi saw.

Doktrin Khatam an-Nabiyyin ini mengantarkan pada satu titik simpul, bahwa tidak ada Nabi setelah Muhammad (saw) wafat. Jikapun ada seorang tokoh agama yang berpengaruh setelahnya, tokoh itu tak pernah bisa disebut sebagai Nabi. Dalam teologi Syiah, tokoh tersebut dikenal sebagai Imam, sehingga Syiah mengenal teologi tentang imam dua belas (itsna asyariyah). Kelompok Sunni menyebutnya dengan beragam istilah: mujaddid, wali, ulama, kyai, ajengan dan lain sebagainya. Intinya, para pembaharu yang oleh Nabi Muhammad dijanjikan akan hadir pada setiap satu abad itu, tetap tidak bisa menyebut dirinya, atau disebut oleh pengikutnya, sebagai Nabi. Di pesantren Asshogiri Bogor, misalnya, Abdul Qadir Zaelani diagungkan dengan gelar yang sangat tinggi: Sulthan al-Awliya (Raja para wali) tetapi tetap tak disebut Nabi. Sebab, para pemuka agama tak lebih dari pewaris Nabi.

Meski telah berkali-kali Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) menjelaskan bahwa mereka mengucapkan kalimat syahadat yang sama, namun masyarakat muslim Indonesia tak percaya dengan penjelasan tersebut. Hal ini disebabkan dua hal. Hal Pertama: teologi Ahmadiyah memilah tiga istilah Nabi. Yaitu “naby mustaqil” (nabi independen), “naby ghayr mustaqil” (nabi tidak independen) dan naby al-dzil (nabi bayangan). Naby mustaqil adalah mereka yang kepadanya diturunkan kitab suci, seperti Nabi Musa, Isa, dan Muhammad (saw). Naby ghayr mustaqil adalah para Nabi yang kepada mereka tidak diberikan kitab suci dan bertugas melanjutkan risalah sebelumnya, seperti Nabi Harun yang melanjutkan tugas Musa. Sedangkan Nabi al-dzil adalah para pembaharu dan tokoh agama yang bertugas “memberi kabar baik dan buruk”.

Para pengikut Ahmadiyah Qadiyaniah memandang MGA sebagai naby ghayr mustaqill, sementara pengikut Ahmadiyah Lahore menganggapnya sebagai naby al-dzill. Kedua-duanya tetap menggunakan istilah Nabi. Istilah yang tidak dapat diterima oleh kalangan Islam karena doktrin khatam an-Nabiyyin yang sudah final tersebut. Hal inilah yang menyebabkan mereka dinyatakan non-muslim di Pakistan.

Hal Kedua: sebagai salah satu bukti penyebutan istilah Nabi yang terus dilakukan, stasiun TV Ahmadiyah (MTA channel), dengan tegas dan jelas, setiap kali nama MGA disebut, selalu dibarengi dengan doa, “Alaihi Salam”. Bagi kalangan Islam (Sunni), doa tersebut hanya diperuntukkan bagi para nabi sebelum Nabi Muhammad saw seperti Isa, Musa, Ismail, dan yang lainnya. Untuk para sahabat Nabi Muhammad saja, teologi Sunni hanya menyebutkan doa, “radiallahu anhu” (Semoga Allah meridhoinya). Artinya, bagi umat Islam, pelafalan kaum Ahmadiyah dengan do’a “allaihi salam” menunjukkan bahwa MGA lebih mulia dari sahabat Nabi, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab dan lain-lain.

Alasan-alasan teologis seperti inilah yang mengusik ketenangan masyarakat Pakistan, empat puluh tahun lalu, dan mereka menyelesaikannya dengan menyatakan Ahmadiyah non-muslim, baik kelompok Ahmadiyah Qadiani atau Lahore. Ketegangan yang sama kini tengah merebak di Indonesia.

Kedua: Secara hukum. Sejak Surat Keputusan Bersama (SKB) dikeluarkan pada bulan Juni tahun 2008 menyusul kasus kerusuhan Monas, penyerangan Ahmadiyah di Pandeglang adalah yang terparah dan paling mengerikan di awal tahun 2011 ini. Menurut saya, muara dari persoalan ini adalah ketidaktegasan aturan dalam SKB itu. Jika di Pakistan, Ahmadiyah dengan tegas disebut non-muslim dalam konstitusi mereka, kita hanya mengaturnya dengan SKB yang menggunakan bahasa bersayap seperti “Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad S.a.w;” (Poin 2 SKB).

Ada beberapa kelemahan dalam SKB tersebut. Pertama, mengutip Prof. Yusril Ihza Mahendra, SKB sesungguhnya sudah tidak lagi dikenal dalam hirarki hukum kita sejak diundangkannya Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No. 10 tahun 2004 tersebut menyatakan, antara lain, hirarki undang-undang terdiri atas Undang-Undang Dasar, Undang Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. (Pasal 7). Dengan kata lain, bentuk keputusan hukum yang tepat bukanlah sebuah Surat Keputusan Bersama (SKB), tetapi Peraturan Presiden (bila yang hendak dilarang Ahmadiyah sebagai organisasi) atau Peraturan Menteri (jika yang hendak dilarang orang/perorang.)

Kedua; SKB telah “melemahkan” ketentuan Pasal 2 UU No. 1/PNPS/1965. Kata “diberi perintah dan peringatan keras” sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Nomor 1/PNPS/1965 tersebut telah dilunakkan menjadi “memberi peringatan dan memerintahkan”. Namun demikian, walaupun isi SKB itu tidak memuaskan, SKB itu adalah kebijakan (beleid) Pemerintah, yang oleh yurisprudensi Mahkamah Agung, dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak dapat diadili.

Kini, bola penyelesaian hukum tentang Ahmadiyah (dan gerakan penodaan agama lainnya) ada di tangan presiden. Presiden tidak perlu lagi “prihatin” atau membentuk satuan tugas (satgas) dalam menyelesaikannya. Presiden tinggal menerbitkan Peraturan Presiden untuk membubarkan organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Sebab, faktanya, kegiatan Ahmadiyah di Indonesia bukan sekedar kegiatan individu para penganutnya, tetapi suatu kegiatan yang terorganisasikan melalui JAI. Organisasi ini terdaftar di Kementerian Kehakiman RI sebagai sebuah vereneging atau perkumpulan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 13 Maret 1953. Berdasarkan ketentuan Pasal (2) UU Nomor 1/PNPS/1965, apabila kegiatan kegiatan penodaan ajaran agama itu dilakukan oleh organisasi, maka Presiden dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakannya sebagai “organisasi/aliran terlarang”, setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung.

Dalam hal setelah Peraturan Presiden yang membubarkan Ahmadiyah diterbitkan, dan pihak Ahmadiyah tetap melakukan kegiatannya, ketentuan Pasal 156a KUH Pidana berlaku. Yaitu, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap sesuatu agama yang dianut di Indonesia”. Sehingga, alur hukum penyelesaian tentang Ahmadiyah menjadi jelas tanpa perlu berputar-putar.

Wallahua’lam bishowab.
Oleh: Inayatullah Hasyim

Read more...

Menjadikan FPI Kambing Hitam (Editorial Era Muslim.com)

Sistem pemerintahan ini di bawah Presiden SBY, perlahan-lahan mengalami ‘distrust’ alias kehilangan kepercayaan, secara sistemik oleh rakyat. Terjadinya ‘distrust’ ini bukanlah tiba-tiba. Tetapi, mengikuti prores dan logika, dan dinamika yang terjadi di dalam pemerintahan SBY.

Tentu, penyebab terjadinya ‘distrust’ itu, tak lain sistem pemerintahan itu sendiri, karena tak berjalan dan berfungsi secara efektif, dan mengakomodasi aspirasi kehendak dan aspirasi rakyat, serta kemudian mencarikan solusinya. Rakyat terus mengalami erosi dan kehilangan ‘trust’, dari waktu ke waktu. Seperti yang digambarkan oleh berbagai media, dan lembaga polling, yang melakukan survey tentang kepercayaan dan tingkat kepuasan rakyat terhadap pemerintahan SBY, yang terus-menerus menurun.

Sorotan yang paling utama dari rakyat, tak lain, gagalnya pemerintah SBY mewujudkan dan menegakkan supremi hukum. Hukum dikangkangi para koruptor, dan mafia hukum, serta mereka berhasil menekuk dengan telanjang para penegak hukum di negeri ini.

Semua kasus pelanggaran hukum, berupa korupsi, ujungnya pasti melibatkan aparat penegak hukum. Seperti polisi, jaksa, dan hakim, bahkan pengacara. Mereka saling jalin-berkelindan, yang tak pernah bisa tertembus oleh apapun, di negeri ini.

Karena pemerintah di bawah Presiden SBY, kurang memiliki ‘goodwill’, yang sungguh-sungguh untuk menciptakan dan menegakkan yang disebut ‘good governance’. Padahal, adanya pemerintah yang bersih 'goord goernance' ini sudah menjadi komitmen bersama elemen bangsa.

Lihat. Kasus yang mendapat ‘covered’ media massa yang begitu gegap-gempita perlahan-lahan hilang seperti hilang ditelan angin. ‘Gone with the wind’. Seperti kisah sebuah film yang banyak digemari. Tetapi, kisahnya tidak seperti film itu. Anggodo yang pemberitaannya begitu gegap gempita hilang ditelan angin. Kasusnya melibatkan banyak aparat penegak hukum. Anggodo hanya di hukum 7 tahun, dan semuanya menjadi sirna.

Bail out Bank Century, berkaitan dengan uang Rp 6,7 triliun, yang penuh dengan nuansa politik dan korupsi, sampai harus dibawa ke DPR dengan pansus, dan menghasilkan keputusan, yang menegaskan adanya pelanggaran hukum, dan melibatkan para pejabat tinggi negara, seperti yang disebutkan dalam keputusan Pansus DPR. Tetapi, sekarang kasus Century ditutup sendiri oleh para pemimpin partai politik,yang mereka telah menetapkan dan memutuskan kasus Century terdapat pelanggaran hukum. Sekarang kasus Century hilang bersama angin.

Meredupnya kasus Century, Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Susno Duadji, tiba-tiba menjadi ‘whistle blower’, atau ‘sang peniup peluit’, yang kemudian meledak,dan menyeret sejumlah pegawai pajak, yang mengungkap bagaimana ‘gurita’ mafia pajak di tubuh Dirjen Pajak, yang sangat mengerikan. Merugikan ratusan triliun uang negara.

Sampai sekarang ini masih belum selesai. Belum terungkap semua. Hanya Bahasyim dan Gayus yang sudah ‘nyerocos’ di pengadilan, dan menyingkap betapa bobroknya negeri ini. Para mafia hukum telah bergentayangan, dan mengangkangi negara. Kasus Gayus telah memporak-porandakan sistem pemerintahan SBY. Karena dari kasus persidangan yang mengadili Gayus itu, tergambar betapa hampir semua aparat penegak hukum, tak terkecuali, masuk dalam jaringan Gayus, dan menerima ‘angpau’ dari Gayus.

Tetapi, Gayus bukan hanya menguliti para penegak hukum, yang sudah menerima ‘angpau’, tetapi kasus Gayus itu, meningkat ke masalah politik, dan terus berkecamuk. Perlahan-lahan terkuak, siapa saja yang terlibat dalam kasusnya Gayus itu. Dan, masuk ke ranah poliitk, yang sangat kritis, karena akan menyangkut pola hubungan para pemilmpin partai yang menjadi pendukung Presiden SBY.

Alhasil, kasus-kasus yang ada, mulai masuk ke ranah politik, dan saling bukak-bukakan, yang semuanya itu melunturkan image (citra) partai politik dan para politisi dengan patronnya masing-masing.

Semuanya, tak bisa dilepaskan satu-sama lainnya, dan saling berkait. Tentu yang paling menentukan, mengapa tak memungkinkan tercipta adanya ‘good governance’, karena di Indonesia, antara penguasa dan pengusaha telah terjadi ‘ mutualisma-simbiosa’, yang tak mungkin dapat dilepaskan. Ini sudah berlangsung sejak zaman Orde Baru. Sudah sistemik.

Pemerintah SBY yang sudah kehilangan ‘distrust’ itu, kemudian ditumbuk oleh gerakan para agamawan, yang mempunyai kepentingan masing-masing. Mereka bertemu di PP Muhammadiyah, yang kemudian mengangkat tentang tema : kebohongan. Tentu, yang menjadi target dan sasarannya, siapa lagi, kalau bukan Presiden SB Y. Isu ‘kebohongan’ yang diangkat para ‘romo’ itu, akhirnya meledak, dan dampaknya sangat dahsyat. Karena, rakyat yang sudah mengalami tingkat ‘distrust’ dengan stadium yang sudah tinggi, di bakar dengan isu ‘kebohongan’ oleh para ‘romo’, dan didukung media massa, cetak dan elektronik, membuat Presiden SBY, sempoyongan.

Tak ada jalan lain, Presiden SBY mengakomodasi mereka, dan mengajak mereka duduk di Istana Negara, dan Presiden harus mendengar apa yang menjadi suara mereka. Apa yang dimaksudkan dengan ‘kebohongan’ yang mereka jual kepada pemerintah itu?
Para ‘romo’ itu hanya ingin mendapatkan penegasan Presiden SBY, agar di Indonesia penghormatan terhadap hak-hak dasar, terutama kebebasan beragama itu, benar-benar di jamin. Tidak di batasi dengan berbagai peraturan. Seperti SKB Tiga Menteri, yang bagi para ‘romo’ itu sebagai belenggu, yang menganggu kebebasan beragama, dan menjadi hak dasar manusia.Termasuk mendirikan gereja. Tak boleh dibatasi dan dilarang.

Sementara itu, Din Syamsudin dan Syafi’i, yang sudah berhasil dimanfaatkan oleh para ‘romo’ itu, tentu ingin tetap mempunyai ‘leverage’ (daya tawar), dan ini penting bagi keduanya, sebagai pemimpin ormas Islam, melihat ke depan, terutama dalam kontek politik Indonesia di tahun 2014 nanti.

Walaupun dengan tujuan dan kepentingan yang berbeda , tetapi antara para ‘romo’ dan tokoh Islam, yang mempunyai pandangan ‘moderat’ dapat melakukan kolaborasi, dan menjadikan sasarannya adalah Presiden SBY. Sehingga, peristiwa itu, menjadi sangat penting, dalam kazanah politik Indonesia. Di mana pemerintah yang sudah kehilangan kepercayaan atau mengalami ‘distrust’, dan ‘gagal’ menangani krisis, di tumbuk dengan isu ‘kebohongan’, yang masing-masing mereka ingin mendapatkan ‘sesuatu’ dari Presiden SBY.

Tentu, yang sekarang menjadi ancaman mereka, adalah kelompok Islam radikal dan fundmentalis, salah satunya FPI. FPI dinilai menjadi bibit timbulnya radikalisme dan fundamentalisme di Indonesia. Semuanya mempunyai kepentingan untuk ‘mengubur’ FPI dan sejenisnya. Para ‘romo’ dan kaum Islam ‘moderat’, dan didukung kalangan sekuler, mempunyai pandangan yang sama untuk ‘mengubur’ kaum radikal dan fundamentalis di Indonesia.

Di tengah-tengah pemerintah dan Presiden SBY yang sudah kehilagan ‘trust’ itu, akibat korupsi dan kegagalan yang sistemik, khususnya dalam pengelolaan negara, dan para ‘romo’ yang sudah ngebet ingin mencabut SKB Tiga Menteri, dan keinginan untuk ‘mengubur’ hidup-hidup kaum yang dicurigai sebagai kelompok radikal dan fundamentalis itu, muncul peristiwa baru, yang kemudian menutup semuanya peristwa sebelumnya.

Peristiwa Cikeusik, Temanggung, Pasuruan, yang bernilai kekerasan, dan di blow up oleh media massa, cetak dan elektronik, dan mereka bersepakat membangun opini dengan: “Ormas yang melakukan kekerasan” harus dibubarkan. Siapa mereka yang dituduh melakukan kekerasan itu? Tak lain, FPI dan sejenisnya.

FPI sebuah ormas keagamaan yang didirikan sejumlah tokoh Islam, diantaranya Habib Riziq Shihab, tujuannya hanyalah dalam rangka menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Tidak ada yang lain. Semuanya tindakan yang dilakukan legal, dan dimulai dengan persuasif, dan prosuderal. Tetapi, FPI sudah terlanjur, citranya diopinikan, sebagai kelompok yang radikal, dan lekat dengan kekerasan oleh media massa, melalui jaringan media mereka.

FPI yang dianggap bibit radikalisme dan fundamentalisme di Indonesia menjadi ‘common enemy’ oleh para ‘romo’, kaum Islam ‘moderat’, dan pemerintah SBY memanfaatkannya, setidaknya untuk menghapus isu politik,yang belakangan ini terus mengarah kepada Presiden.

Sekarang mereka yang dituduh sebagai ‘dalang’ peristiwa Cikeusiik, Temanggung, Pasuruan, semuanya sudah dikandangi, dan Presiden SBY bersama Majelis Dzikir Rasulullah yang dipimpin Mundzir Musawa sudah melangsungkan tabligh akbar di Silang Monas, memperingati Maulud Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam, yang dihadiri ribuan umat Islam. Semuanya selesai dengan ‘happy ending’ buat Presiden SBY.

Perhatian rakyat terhadap kejahatan korupsi dan kegagalan pemerintah mengatasi krisis pupus, bersama dengan peristiwa Cikeusik, Temanggung, dan Pasuruan. Persis seperti ketika terjadi oposisi rakyat yang keras terhadap kenaikan BBM tahun 2008, kemudian terjadi peristiwa di Monas, antara massa FPI dengan AKKBP, yang berujung dengan masuknya Habib Riziq ke dalam penjara. Wallahu’alam.



Read more...

Dokumentasi Ghurabba