Ibarat barang dagangan, globalisasi sering “menggombal” dengan berbagai dalih

oleh: Saiful Anshor*
Istilah globalisasi sebenarnya telah lama dan out of date. Sejak sekat dunia dibuka oleh tekhnologi, dunia jadi ibarat global village. Tak berbatas. Bisa diakses dari manapun dan kapan pun. Apa yang terjadi di belahan dunia paling jauh, sejam atau bahkan semenit kemudian bisa dikehahui. Untuk bisa keliling dunia pun tak butuh waktu lama. Sehari atau bahkan hanya beberapa jam saja.

Hanya dengan menekan tombol keyboard, kita bisa surfing ke berbagai negara yang kita mau. Afrika, Eropa, Sudan, India, Arab Saudi, Amerika atau bahkan ke negara terjauh sekalipun. Tidak sekedar surfing, kita juga bisa ngobrol bahkan secara dengan orang dari berbagai belahan dunia. Stasiun TV kini juga beragam. Berbagai tayangan luar negeri bisa dinikmati. Ya, sekarang dunia tak selebar daun kelor, kata Theodore Levitte.

Sayangnya, globalisasi tidak selamanya manis. Lebih banyak pahitnya. Ibarat pisau yang bermata dua, satu sisi menyuguhkan beragam kemudahan dan di sisi lain, globalisasi adalah alat neo kolonialisme Barat untuk menjajah para mangsanya, terutama negara berpenduduk muslim terbesar Indonesia. Maka tak heran, dalam globalisasi ada banyak bentuk propaganda; politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama.

Karena itu, Scholte mendefinisikan globalisasi tidak hanya satu. Yaitu, internasionalisasi, liberalisasi, universalisasi, westernalisasi dan hubungan transplanetari dan suprateritorialitas. Dari beberapa definisi versi Scholte itu, definisi liberalisasi dan westenisasi yang paling berbahaya. Liberalisasi, kata Scholte, adalah berkenaan dengan batasan antarnegara dalam hal ekonomi atau perdagangan. Sedangkan westernisasi, adalah bentuk penyebaran pikiran dan budaya Barat sehingga mengglobal.

Di Indonesia, efek dari westenisasi begitu terasa. Nilai (value) Barat merasuk dan merangsek ke segenap sendi kehidupan masyarakat Indonesia melalui berbagai alat media baik cetak, elektronik dan internet. Dari masyarakat yang berada di atas gunung hingga penduduk yang tinggal di pesisir pantai. Transformasi nilai itu begitu gampang disampaikan hanya dengan si kotak empat (TV) dan HP. Tayangan Barat yang ditonton berjam-jam bisa mengubah pola pikir dan sudut pandang masyarakat.

Maka jangan heran, jika di pusat kota besar, di terminal atau di jalan-jalan, banyak anak remaja yang berpakain dan berbagaya seperti anak punk; rambut jabrik tegak dicat kuning, pake tindik, anting, dan sukanya memakai kaos oblong bolong dan celana jins belel yang dengkulnya bolong. (apakah mereka juga jarang mandi?). Tapi, bagi mereka itu satu prestise (kebanggaan).

Bagi mereka, budaya seperti itu dianggap budaya modern dan global. Tidak kampungan. Sedangkan, remaja yang pake sarung dan memakai peci justru dianggap nggak mengikuti jaman. “Nggak Jamani, lho!” begitu ungkapnya.

Itu baru dari sisi akulturasi budaya pada remaja. Apabila ingin mengamati yang lainnya, maka lebih banyak lagi hal yang akan kita jumpai. Dulu, pacaran adalah tabu. Public Indonesia lebih mengenal cerita Siti Nurbaya. Dulu, hamil di luar nikah adalah aib. Dulu, selingkuh dianggap dosa besar. Tapi, di jaman sekarang, apa yang dulu menjadi tabu sekarang justru menjadi tren.

Seperti yang belum lama terjadi, di Surabaya, seorang siswi membunuh anaknya. Menyusul kemudian, seorang siswi di Madiun melahirkan di sekolah. Apalagi dari segi berpakaian, remaja putri lebih suka pake pakaian ketat yang memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya.

Westernisasi itu juga nampak dalam dunia hiburan. Banyak media yang menyuguhkan hiburan dan tayangan yang meng-copy-paste budaya Barat yang sebenarnya bertentangan dengan budaya Timur Indonesia. Sebut saja misalnya, acara jodoh-jodohan si salah satu stasiun TV, "Take Me Out", "Indonesia Idol" dan berbagai tayangan lainnya.

Hiburan tersebut tidak dipungkiri telah merubah pola pikir masyarakat. Kini, umurmnya para orangtua lebih suka anaknya jadi artis, penyanyi dan tenar ketimbang jadi ulama, ilmuan dan orang besar lainnya. Dalam setiap tayangan seperti itu, lihat saja begitu banyak orangtua yang datang dan mengantarkan anaknya untuk menjadi artis. Mereka begitu bangga dan senang.

Karena itu, Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi westenisasi itu telah membawa manusia pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Karena itu, tak lebih jika Peter Drucker menggambarkan fenomena ini dengan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial.

Apa yang dikatakan mereka dibenarkan Robert Giddens. Giddens menegaskan, kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi.

Globalisasi adalah hal yang pasti. Globalisasi terjadi efek dari sejarah manusia yang terus berkembang. Karena itu, tak mungkin berlari dan bersembuyi di gua dan gunung hanya untuk menghindarinya. Lantas, bagaimana menyikapi globalisasi?

Ibarat barang dagangan, globalisasi sering “menggombal” dengan berbagai dalih. Dalih hedonisme dan modernisme yang diperagakan dalam setiap media yang pada ujungnya memasukkan ke perangkap westernisasi.

Jadi, hidup di jaman globalisasi harus pandai menyaring nilai yang cocok dengan budaya Indonesia yang Islami. Karena itu, berhati-hatilah dengan globalisasi. Boleh tidak gaptep, asal jangan mau digombal globalisasi.[hidayatullah.com]

*)Penulis adalah guru ngaji, tinggal di Surabaya


You can leave a response, or trackback from your own site.

Dokumentasi Ghurabba