Suatu siang, ketika saya beristirahat disebuah kios rokok, istirahat dari aktifitsas “selebritas” yang sementara ini menjadi pekerjaan saya. (ngamen aja, bahasanya sok banget). (Tiba-tiba) Ciiiiitttt... sebuah mobil mengerem dan berhenti mendadak diikuti kendaraan lain dibelakangnya, hampir saja bisa dipastikan akan terjadi kecelakaan beruntun, tapi syukurlah itu tidak terjadi. Itu semua karena seorang anak kecil dekil dan “umbelan” tiba-tiba berlari tepat melintas didepan mobil itu. dan Tanpa memperhatikan mobil dan si sopir, anak itu terus berlari melewati perempatan lampu merah ke arah sebuah pos polisi yang kosong. Sambil menggengam sekeping uang recehan, entah pecahan 100, 200, atau 500 rupiah. samar saya melihatnya. Sementara sopir mobil tersebut dan lainnya terlihat beberapa kali menggelengkan kepala mereka, bahkan memaki. dan dalam hitugan detik merekapun segera melanjutkan perjalanannya. Setelah itu dua bola mata saya tertuju ke arah pos polisi mengikuti kemana larinya bocah dekil itu. terlihat didalam pos tersebut seorang ibu yang tak kalah “rungsep” wajahnya sedang menggendong dan meneteki bayi yang masih memerah. ‘Itu pasti ibunya,pikir saya’. Lalu uang yang digenggamnya tadi diberikan kepada ibunya, terlihat obrolan yang tidak begitu lama, lalu bocah itu kembali menyebrang. Sebelum menyebrang Kali ini si bocah menyempatkan untuk melihat lalulalang kendaraan.

Ya Gusti Allah.. apa yang terjadi dengan mereka? Mentok sudah otak saya yang terbatas ini untuk mencoba bertanya dan menjawabnya. Berapa ratus bahkan ribu keluarga seperti mereka yang berada di jalanan?. Hampir saja kemanusiaan saya runtuh. Karena telah berfikir “ah itu kan bukan tugas saya untuk memikirkan mereka. Toh sudah ada negara dengan UUDnya yang sudah menjamin mereka. Toh ada orang-orang kaya yang wajib mengurusnya. Toh ada orang-orang yang pintar dari kaum akademisi atau kaum intelektual yang wajib untuk memikirkan solusinya. Toh ada banyak orang alim yang lebih doble wajib lagi untuk mengentaskan mereka. Lha kalau saya kan hampir sama dengan mereka, Cuma nasib saya aja yang sedikit lebih baik dari mereka, tp sama-sama anak jalanan! Ya! “Anak jalanan”.. beginilah masyarakat di negri menyebut mereka dan saya. Jadi Ngapain saya ikut-ikutan pusing”.

Tapi pemandangan itu seakan memaksa saya untuk “ngrasani” mereka saat itu juga, menggosipkan mereka diantara saya dengan diri saya sendiri.

‘Gila! Ibu macam apa itu?! sama saja ibu goblok itu membunuh anak-anaknya, enak aja anaknya suruh ngemis sementara dia enak uncang-uncang kaki berteduh dipos polisi. Apa rasa keibuannya sudah mampus?! Apa gak berfikir tentang timbal asap yang penuh dengan unsur kimia yang tiap pagi, siang, malam terhisap oleh anaknya itu?! Apa gak berfikir jutaan kendaraan itu berpotensi tinggi untuk menggilas dan meremukkan kepala dan tubuh mungilnya?! Apa gak berfikir untuk menyekolahkannya?! Apa gak berfikir dia saja yang kerja?! ‘

`Lha ini suaminya mana?’. bapaknya pasti tolol bin goblok bin sinting bin ngawur bin bin bin bintitaaaaaaan! (kesel saya!). Bisa-bisanya kok keluarga yang harus dinafkahinya disuruh berburu di rimba yang banyak binatang buasnya?! Bapaknya pasti lagi asik judi, mabok! Atau bapaknya ini sudah mampus ditusuk preman?!’

Astaghfirullah... Bah! Macam mana pula aku ini, mencaci mereka tak jelas “juntrungannya”. Kan saya dan mereka itu sama. Sama-sama gak lulus sekolah kena DO bahkan mereka lebih parah, kismin, dhuafa, madesu, alamak keceplosan aku! Keceplosan Ngomong layaknya pemain sinetron di Islam KTP. bukannya Sesama pengemudi dilarang mendahului?.

Ahh... tentunya ini bukan mutlak salah mereka, bukan pula mutlak kausalitas pola gerak dan pola pikir mereka sendiri. Jauh dari semua yang terlihat Tentu ada sebuah sebab yang terpusat, toh negri ini sangat subur dan kaya. Lha terus gara-gara apa sampai banyak gembel seperti mereka?! Dari gembel kultural sampai struktural. Gembel kultural, yang lingkungan dan tingkah lakunya sesama gembel sudah melekat ke akar otak mereka yang terdalam, sehingga kemungkinan besar tidak akan bisa dirubah. Atau jadi gembel struktural yang diwariskan oleh moyang pendahulunya sehingga kulturisasi gembelpun dimulai sejak mereka mulai bernafas didunia ini. hayo Kenapa bisa seperti ini?!

Mungkin saja ini karena dosa sistemik! “Walah fi, ngomong apalagi sih lo?!’ dosa ya ditanggung sendiri-sendiri, ini ada lagi dosa sistemik, Apa maksudnya coba?”. Iya emang bener, tapi maksud saya bisa jadi ini semua akibat dari dosa yang tersistem. “maksud loh?”. Iya dosa tersistem, maksud saya dosanya negara, pemerintah, pejabat, orang-orang yang membuat dan menjalankan sistem itu. Tentu saja maksud saya adalah mereka yang tidak amanah. Tukang peras, korupsi, kolusi dan segala ‘dosa-dosa intelektual’ yang mereka kerjakan. Bukankah kekayaan negri ini mereka semua yang mengolahnya. Bolehlah ditanya kemana saja tentang kekayaan negri ini, tanyalah ke negri tetangga bahkan seluruh dunia. Mereka pastilah akan menjawab: “ya, negrimulah salah satu negri terkaya dari pertambangan, kelautan dan hasil bumi lainnya”. Lalu kemana hasil dari negri ini? Yang seharusnya para gembel itu juga punya hak untuk menikmatinya bahkan tercukupi olehnya?!.

‘Apakah dosa sistemik itu dari pemerintahan negara saja?’. Lebih jauh lagi jawabnya adalah tidak! Bahkan para akademisi yang punya kecerdasan intelektualitas yang tidak berada dalam pemerintahpun, tentu saja yang melulu karir dan profesionalitas. Dan para “alim dan ‘jama’ah”nya yang menyimpan rapat-rapat ilmunya dalam majlis, dan para pemuda yang punya jiwa membara tapi hanya emosi tinggi dan mencaci saja bisanya, yang sok proletar. dan saya sendiri yang sedang asik menulis inipun terkena dosa-dosa itu, saya kan yang paling dekat satu lingkungan dengan mereka. ‘Lho kok?! Lo itu jangan asal ngomong, apalgi bawa-bawa nama para alim n jama’ahnya, bisa kuwalat lo nanti’. Bukan saya mau kuwalatnya, tapi Ya bisa saja saya bawa-bawa nama mereka semua, wong terakhir saya sebutkan itu dosa saya juga kok, dosa saya yang hanya bisa “ngrasani” mereka semuanya. Bukanya kita sama mereka (gembel) ini bersaudara? Bukanya kita ini satu bagian tubuh sama mereka?

tp cobalah tanyakan kepada religiusitas kita, kemanusiaan kita, nurani kita. Tanyakan pada kesepian. ‘lha kok kesepian segala?’. Iya kepada kesepian malam, kesepian dalam keramaian, karena hanya para hedonislah yang mengatakan bahwa “sepi itu membunuhnya”. ‘lho kok jadi ngrembet?!’. Lha Habis pertanyaannya lha lho lha lho doang dari tadi.

Yoweslah kalau bgitu, saya sendiri akan berbuat sesuatu yang saya bisa dan mampu untuk diri saya dan mencoba untuk lingkungan, sesuai kapasitas saya yang DO sekolah ini tentunya. Membuat gerakan-gerakan kecil dengan teman-teman saya. syukur Alhamdulillah kalau ternyata gerakannya bisa berguna untuk lingkungan selain daripada berguna untuk saya dan teman-teman saya sendiri. Semoga semua pembaca catatan lusuh dan berdebu ini juga sama-sama bergeraknya. Mohon sorry masbro dan mbaksis kalau ada bahasa yang kasar. (padahal emang adanya bahasa kasar).

Tulisan ini bukan untuk siapa-siapa dan menyindir siapa, tulisan ini hanya untuk dan menyindir saya sendiri. Terserah bahasa “saya” disini diartikan “saya” adalah penulis atau “saya” adalah sipembaca. Itu terserah siapa yang memakna tulisan ini hehe.. tapi bolehlah kalau tulisan ini untuk renungan “kita”.


Catatan sikil:

Umbelan = ingusan
Ngrasani = mmbicarakan diam-diam
Rungsep = awut-awutan (semak belukar)
Sikil = kaki


You can leave a response, or trackback from your own site.

Dokumentasi Ghurabba